Takut Jatuh
Cinta
Part: 1
''STOOOP!!''
seorang gadis berteriak diantara dua pemuda yang saling beradu otot sambil
menutup kedua daun telinganya.
Mereka
yang tengah asik bertengkar langsung menghentikan gerakan tangan masing-masing
yang telah siap untuk menghajar wajah lawannya. Beberapa detik kemudian
keduanya saling berpandangan dengan kening berkerut dan alis yang hampir
menyatu.
''Kalian
berdua apa-apaan sih! Kenapa harus bertengkar hanya karena masalah sepele kayak
gini?'' semprotnya dengan galak sambil menjauhkan kedua tubuh mereka yang
saling berhimpitan. Dia lalu berdiri di tengah-tengah sambil berkacak pinggang.
Mata bulatnya silih berganti menatap kedua pemuda yang berada disamping kanan
dan kirinya.
''Denger
ya, gue sebenarnya nggak peduli kalian mau adu otot sampai babak belur atau
mati konyol sekalian. Tapi please, jangan bawa-bawa gue dalam pertengkaran
kalian. Oke?'' nada suaranya sedikit melembut dibanding dengan yang tadi.
Kedua
pemuda itu tidak ada yang menyahut. Mereka malah sibuk membersihkan seragam
sekolah yang lusuh karena tadi sempat jatuh dan berguling-guling di tanah.
Pemuda yang berada di kanannya sedikit meringis ketika menyentuh sudut bibirnya
yang masih menyeluarkan darah segar. Sementara pemuda yang berdiri di samping
kirinya yang tidak memiliki banyak luka di wajahnya yang cute melipat kedua
tangan di dada dan pandangannya terus menatap gadis mungil dan imut yang sedang
berteriak-teriak di depannya.
''Do,
ngapain lo lihatin gue terus kayak gitu? Lo nggak denger apa yang barusan gue
bilang?'' Gadis yang memiliki bibir mungil dan tipis itu mulai cemberut karena
merasa dicuekin.
''Aa
denger kok, apa yang cinta katakan,'' ucapnya lembut. Sebuah senyum menghiasi
wajah tampannya.
''Woi
sarap, bisa-bisanya lo godain my sweety di depan gue,'' semprot pemuda yang
satunya. Dia mencoba melangkah mendekati pemuda yang masih berdiri dengan
tenang tak jauh darinya, tapi gerakannya langsung dihentikan oleh tangan mungil
gadis itu.
''Woiii
... gue capek harus selalu melerai pertengkaran kalian!'' teriaknya. Kepalanya
lalu menoleh ke samping kanannya. ''Wajah udah babak belur kayak gini lo masih
mau berantem lagi heh?!'' tanyanya judes. Sebenarnya gadis itu sedikit miris
melihat wajah pemuda didepannya yang biru legam tapi ditahannya rasa belas
kasihan untuk mengobatinya.
Terdengar
tawa dari pemuda yang berada di samping kirinya. ''Lo itu paling lemah kalau
berantem dan gue gak mau ngerusak wajah elo lagi. Bisa-bisa fans club lo
ngeroyok gue,'' sindirnya.
''Sialan
lo!'' Pemuda itu benar-benar emosi mendengar ucapan rivalnya itu.
''GUE
UDAH CAPEK JADI PERI BAIK HATI YANG SELALU MELERAI PERTENGKARAN KALIAN!
SEKARANG TERSERAH KALIAN. GUE UDAH NGGAK PEDULI LAGI!'' Gadis itu segera
melangkahkan kakinya lebar-lebar meninggalkan mereka berdua.
''FAYAAA
... JANGAN PERGI?!'' teriak mereka hampir bersamaan.
Part: 2
Dengan
kesal Faya menghembaskan tubuhnya ke ranjang. Kepalanya menoleh ke kiri dan
tangannya terulur mengambil sebuah bingkai foto di atas meja yang berada tepat
di samping ranjangnya.
Dalam
foto itu tampak tiga gambar anak kecil berusia sekitar delapan tahun. Dua anak
laki-laki sedang berebut untuk mendorong sepeda dengan seorang anak perempuan
yang sedang duduk di atasnya. Wajah mereka masih polos dan lugu.
Flash
back.
Sore
itu Faya, Aldo dan Romi sedang asik bermain di halaman rumah Faya. Mereka
bertiga tinggal dalam satu kompleks dan kebetulan rumah mereka saling
berderet-deret dengan posisi rumah Faya di tengah.
''Wah,
sepeda Faya baru ya?'' ucap Romi kecil sambil mendekati Faya yang baru keluar
dari garansi sambil menuntun sepeda barunya.
Faya
tersenyum manis dan mengangguk. ''Iya,
kemaren baru dibelikan sama Papa. Sepeda Faya bagus kan?'' tanya Faya senang
dengan hadiah ulang tahunnya.
''Faya
bisa naik nggak?'' tanya Aldo yang berputar-putar di samping mereka menggunakan
sepedanya.
Faya
menggeleng pelan. ''Aldo ajarin Faya ya?'' pintanya sambil terus menatap Aldo
yang masih berputar-putar.
''Sini
Romi yang ngajarin Faya,'' tawar Romi sambil memegang sepeda Faya.
Faya
menoleh melihat Romi. ''Romi bisa naik sepeda?'' tanya Faya ragu.
Romi
mengangguk. ''Tentu saja, ayo Faya naik biar Romi pegangin,'' ucapnya.
''Romi
yakin?'' Faya masih ragu. Setelah Romi mengangguk mantap akhirnya Faya mulai
menaiki sepedanya.
''Nggak
usah dipengangin Faya juga nggak akan jatuh.'' Tiba-tiba terdengar suara Aldo.
''Nanti
kalau Faya jatuh terus berdarah gimana?'' tanya Romi khawatir.
''Nggak
akan jatuh, lihat saja sepeda Faya rodanya berapa?'' Aldo malah balik bertanya.
Faya
yang mendengar ucapan Aldo langsung melihat roda sepedanya. Di depan ada satu
roda dan dibagian belakang ada tiga roda.
''Kata
Papa, kita nggak akan jatuh kalau rodanya banyak,'' Aldo kembali menjelaskan.
''Kalau
kamu nggak mau pegangin sepeda Faya biar aku aja yang megangin.'' Romi masih
tetap bersikukuh ingin menjaga Faya agar tidak jatuh.
''Kalau
gitu, aku juga ikutan pegangin sepeda Faya.'' Akhirnya Aldo juga ikut-ikutan
memegang sepeda Faya dan hasilnya mereka berdua malah saling berebut ingin
membantu Faya.
''Kalian
jangan bertengkar!'' teriak Faya mencoba melerai mereka berdua.
''Tadi
kamu udah bilang nggak mau bantu Faya, sana pergi!'' usir Romi.
''Aku
nggak bilang seperti itu kok.'' Aldo membela diri.
''Udah,
kalau kalian berantem terus Faya nggak mau main bareng kalian lagi.'' Faya
segera berlari masuk ke rumah meninggalkan mereka berdua yang bengong tapi
sedetik kemudian mereka kembali saling menyalahkan.
''Tuh
kan, Faya ngambek semua gara-gara kamu!'' Romi mendorong bahu Aldo.
Aldo
yang berhasil mundur beberapa langkah hanya diam dengan mata yang silih
berganti menatap kepergian Romi dan pintu rumah Faya yang tertutup rapat.
Setelah itu dia mengambil sepedanya dan pulang ke rumah.
End flash back.
''Aaaaarrgh
... kenapa kalian masih suka berantem?!'' Faya berteriak sambil menutup
wajahnya dengan bantal.
Part: 3
Begitu
Faya membuka pintu depan tubuhnya langsung diam terpaku di tempat. Hal yang
selama ini dia khawatirkan akhirnya terjadi juga. Di depan pagar rumahnya yang
hanya berjarak lima meter dari pintu rumah telah menunggu dua teman masa
kecilnya dengan motor masing-masing. Iya, mereka adalah Aldo dan Romi.
''Morning
my sweety,'' sapa Romi sambil melambaikan tangan dan senyuman menghiasi wajah
manisnya.
''Pagi
Cinta,'' ucap Aldo dengan senyum khasnya, sebuah lesung pipit muncul di pipi
kananya.
Perlahan
Faya menarik nafas dan mulai berjalan mendekati mereka.
''Dari mana kalian tahu kalau gue pindah ke sini?'' tanyanya to the point.
''Dari mana kalian tahu kalau gue pindah ke sini?'' tanyanya to the point.
''Kemaren
kita ngikutin elo waktu pulang, iyakan Do?'' Romi menatap Aldo, Aldo hanya
mengangguk membenarkan ucapan Romi.
''Terus
ngapain kalian berdua pagi-pagi ke sini? Sekolah kita kan beda?'' tanyanya
lagi.
Mereka
bertiga dulu memang teman bermain semasa kecil, tapi ketika memasuki SMP Faya
harus ikut pindah karena Papanya dipindah tugaskan, sekarang mereka bertiga
bertemu lagi setelah 3 tahun berpisah. Kemaren adalah pertama kali mereka
bertemu yang meninggalkan kesan buruk di hati Faya karena mereka masih seperti
yang dulu, suka bertengkar.
''Gue
mau nganterin elo ke sekolah,'' jawab Romi cepat.
Mendengar jawaban Romi, Faya langsung menoleh melihat Aldo.
Mendengar jawaban Romi, Faya langsung menoleh melihat Aldo.
''Gue
juga,'' jawab Aldo.
Lagi-lagi
Faya harus menarik nafas panjang. Tatapannya silih berganti melihat mereka
berdua. Kemudian sebuah senyuman menghiasi bibirnya begitu melihat seseorang
yang datang.
'' Kak
Riko!'' teriak Faya seraya berlari kecil mendekati pemuda yang baru datang.
''Pagi
babe, berangkat sekarang?'' tanyanya langsung tanpa mempedulikan dua pemuda
yang telah lebih dahulu menunggu di depan pagar rumah Faya.
Faya
mengangguk dan langsung menaiki motor Riko. Tanpa rasa malu dan canggung
tangannya melingkar di pingggang Riko.
Romi dan Aldo yang melihat adegan itu langsung melotot kaget.
‘'My sweety,'' lirih Romi dengan wajah kecewa
melihat adegan di depannya, karena Faya lebih memilih bareng sama cowok yang
bernama Riko dari pada dirinya.
''Cinta
kenapa bareng dia? Dia siapa?'' tanya Aldo. Wajah lembutnya tiba-tiba mengeras
melihat sikap Faya pada pemuda yang baru datang beberapa detik itu.
Faya
hanya tersenyum sambil melambaikan tangan begitu motor Riko mulai berjalan.
''Bye Romi, bye Aldo. Dadaaah ...,'' ucapnya riang karena merasa terbebas dari
mereka. Perlahan-lahan motor itu mulai menghilang di tikungan. Part: 4
Berkali-kali Faya menyipitkan mata melihat
seseorang yang sedang menunggu di depan gerbang sekolahnya, saat ini masih jam
pelajaran tapi kenapa makhluk menyebalkan itu bisa berada di sini? Faya yang
hendak pergi ke perpustakaan untuk mencari bahan tugas biologi segera berbelok
arah dan menghampiri pemuda tersebut.
''Aldo, ngapain elo di sini?'' tanyanya ketus
begitu berdiri di samping Aldo.
Aldo menoleh, tidak ada senyum manis yg dia
hadiahkan untuk Faya seperti ketika mereka bertemu tadi pagi. Wajahnya datar
tanpa ekspresi, kedua mata elangnya tajam menatap Faya. Diperhatikan Aldo
seperti itu membuat Faya begidik ngeri, tampang Aldo tiba-tiba berubah seperti
pembunuh berdarah dingin di matanya. Faya sama sekali tidak menyangka kalau
wajah Aldo yang cute bisa sangat menyeramkan seperti itu.
''Siapa cowok tadi pagi?!'' Pertanyaan Aldo
lebih terdengar seperti sebuah bentakan di telinga Faya.
''Dia kak Riko,'' jawab Faya mencoba
menyembunyikan ketakutannya, kakinya mundur selangkah melihat wajah Aldo yang
tidak bersahabat. Aldo menaikkan satu alisnya, pertanda kalau dia tidak merasa
puas dengan jawaban yang diberikan Faya. ''Kita cuma temen kok,'' lanjut Faya
dan beberapa detik berikutnya dia merutuki kesalahannya karena mengatakan hal
tersebut kepada Aldo.
''Cuma temen?'' Aldo memastikan, kedua matanya
tajam menatap manik cokelat Faya. Perlahan Faya mengangguk, sikap Aldo
benar-benar membuatnya merasa takut. ''Elo nggak coba-coba bohongin gue kan?''
tanyanya lagi.
Faya kembali mengangguk, dengan susah payah dia
mencoba menelan ludah. ''Sekarang hubungan kita memang sebatas temen tapi
...,'' Faya sengantungkan ucapannya. Aldo mengerutkan kening menunggu
kelanjutan dari kalimat Faya. ''Kalau diantara kita ada sesuatu yg istimewa,
kenapa elo harus marah?'' Akhirnya kalimat itu keluar dari bibir Faya. Semarah
apapun Aldo pada dirinya, Faya sangat yakin kalau teman masa kecilnya itu tidak
akan pernah berani menyakitinya secara fisik.
‘'Elo?!'' ucapan Aldo tertahan, kedua tangannya
terkepal menunjukkan kalau dia sedang menahan emosi.
''Ya?'' tanya Faya santai, kedua tangannya
dilipat di depan dada. Mata cokelatnya tak lepas dari wajah sangar Aldo,
sebenarnya Faya ingin mengetahui seberapa sabar Aldo menghadapi dirinya. Pemuda
itu selalu bisa bersikap tenang dan santai, emosinya jarang bisa terlihat.
Aldo menarik nafas panjang dan mengeluarkannya
perlahan-lahan dari mulut. Matanya terpejam beberapa detik. Ketika kelopak mata
itu kembali terbuka sudah tidak ada emosi yg terlihat di sana. ''Faya, apa ini
cara yang elo lakuin untuk ngehindari gue?'' tanyanya lembut. Faya diam, belum
sempat dia membuka mulut suara Aldo kembali terdengar. ''Jika benar seperti
itu, elo akan sangat menyesal karena telah melakukan hal itu.'' Setelah
mengucapkan kalimat itu Aldo kembali memakai helm, menstarter motonya &
melesat pergi meninggalkan Faya yang masih mematung ditempat karena tidak
mengerti dengan maksud ucapan Aldo. Faya
berjalan menyusuri gang kecil menuju rumahnya, siang ini dia sengaja meminta
Riko untuk tidak mengantarkannya pulang. Sesekali ujung sepatu Faya menendang
kerikil yang ditemuinya dipinggir jalan, tanpa bisa dicegah pikirannya kembali
tertuju pada pembicaraannya dengan Aldo tadi pagi.
Part: 5
''Apa sebenarnya maksud Aldo?'' Pertanyaan itu terus saja menghiasi
otaknya. Faya benar-benar tidak dapat mengartikan makna yang tersirat dalam
ucapan Aldo, memikirkan hal tersebut membuat kepalanya terasa sakit dan berdenyut-denyut.
''Aargh ... kepala ini benar-benar tidak bisa diajak kompromi,'' dengusnya
kesal. Faya bersandar di tiang listrik, matanya terpejam dengan kedua tangan
sibuk memijit pelipis berharap bisa sedikit mengurangi rasa sakit yang
dirasakannya.
''Faya, elo kenapa?'' Terdengar sebuah suara. Faya membuka mata, dilihatnya
Romi telah berdiri tepat di depannya. Ada kekhawatiran di wajahnya. ''Kenapa
elo pulang sendirian? Cowok elo mana?'' tanyanya lagi.
Kening Faya berkerut mendengar pertanyaan terakhir Romi. ''Cowok gue?''
tanpa sadar Faya mengulang pertanyaan tersebut.
Romi mengangguk. ''Cowok yang tadi pagi nganterin elo, emang dia bukan
cowok elo?'' Romi mulai curiga, ditatapnya wajah Faya mencari kebenaran.
Dilihat Romi sedekat itu membuat jantung Faya berdebar-debar. ''Oh iya, dia
ada eskul jadi gue pulang sendiri,'' bohongnya. Faya masih memegang kepalanya
yg semakin berdenyut-denyut.
''Elo pusing?'' tanya Romi lagi, kali ini kedua tangannya memegang lengan
Faya.
Faya mengangguk. ''Iya, nggak tau kenapa kepala gue tiba-tiba terasa pusing
banget,'' jawabnya.
''Gue anterin elo pulang yuk,'' ajak Romi. Dia menggandeng tangan Faya dan
memapahnya ke ujung jalan tempat dia memarkirkan motor. Langkah kaki Faya
mengikuti gerakan tangan Romi, kepalanya terasa semakin pusing. Semua yang ada
disekiranya mulai terlihat berputar-putar, semakin lama semakin cepat dan
setelah itu gelap.
Tubuh Faya perlahan-lahan terlepas dari pegangan Romi, Romi yang melihat
hal itu langsung berteriak panik.
''FAYAAA!!'' teriak Romi. Dengan sigap kedua tangannya menangkap tubuh Faya
sebelum tubuh mungil itu benar-benar jatuh dan terkena aspal.
''Fay, elo kenapa?'' Romi panik, berulangkali dia menepuk pipi Faya pelan,
berharap gadis itu akan membuka mata dan tersadar.
Romi menoleh ke kanan dan ke kiri, siang ini gang kecil menuju rumah Faya
terlihat lapang tidak ada seorangpun yang lewat. Pos ronda dipertigaan jalan
yang biasanya ramai kini tampak sepi. Romi berharap ada orang yang lewat, akan
tetapi dia tidak melihat satu orangpun di sana.
Ditengah-tengah kepanikannya sebuah motor berhenti di dekatnya, dengan
cepat pengemudi motor itu melepas helm dan berhambur ke arah mereka.
''FAYA?!'' teriaknya. Ditepisnya tangan Romi dan dengan sigap dia mengambil
alih tubuh Faya dari gendongan Romi. ''Elo apain Faya? Kenapa dia bisa pingsan
seperti ini?'' Mata pemuda itu berkilat-kilat marah menatap Romi.
Romi menggeleng. ''Gue nggak tau, tadi kepalanya pusing dan tiba-tiba dia
pingsan,'' jelasnya kepada pengemudi motor yang tidak lain adalah Aldo.
''Cepat ambil motor, sekarang juga kita bawa Faya ke rumah sakit!''
lagi-lagi Aldo berteriak kepada Romi.
Romi yg sedang panik langsung berdiri, ketika dia hendak berlari ke tempat
dia memarkirkan motor Aldo kembali berteriak.
''Bawa motor gue aja!''
teruslah berkarya
BalasHapusberharap sifat malas dan cepat jenuh segera menguap dan hilang tanpa bekas
Hapus