Lagi-lagi hujan turun, dalam sehari ini sudah dua kali langit mengguyur kota kecil tempat tinggalku dengan tetesan air yang disertai gelegar petir.
Ayah bilang hujan itu merupakan anugerah dari
Tuhan, hujan bisa meringankan kerja para petani untuk mengaliri sawah dan
ladangnya. Hujan bisa menyuburkan setiap tanaman yg tak sempat disiram oleh
pemiliknya, karena air merupakan kebutuhan dasar dari setiap makhluk di bumi
ini baik itu manusia, hewan atau tumbuhan.
Aku suka dengan hujan, setiap rintiknya seolah
mendendangkan irama kedamaian. Hujan membuatku bisa melupakan setiap masalah
dan beban yang aku hadapi. Dalam guyuran hujan aku bisa menyembunyikan setiap
tetes airmata, tapi itu dulu sebelum ada seseorang yang hadir dalam hariku dan
menempati setiap ruang di hatiku.
Ia Fano, seorang yg begitu dekat bukan hanya
dengan diriku tapi juga dengan semua anggota keluargaku.
Tingkah Fano yang lucu selalu mampu meramaikan suasana sepi dalam rumah. Sikap Fano yang riang membuat semua kesedihan lenyap. Fano seperti malaikat yg dikirimkan oleh Tuhan dalam hidupku.
Tingkah Fano yang lucu selalu mampu meramaikan suasana sepi dalam rumah. Sikap Fano yang riang membuat semua kesedihan lenyap. Fano seperti malaikat yg dikirimkan oleh Tuhan dalam hidupku.
''Sya,'' panggilan lembut menyadarkanku dari
lamunan. Perlahan aku menoleh dan kudapati Fano telah berdiri menatapku dengan
senyuman manis yang menghiasi bibirnya. Kulihat ia mengambil sweter yang
tergeletak di kursi lalu menghampiriku.
''Ini sudah larut, kenapa belum tidur?'' tanya
Fano lembut. Sweter yang dipegangnya kini telah beralih menyelimuti tubuh
kurusku.
Aku tersenyum dan menggeleng, kembali aku
menoleh manatap rinai hujan dari balik jendela kamar. ''Aku kangen pada hujan,
kangen dengan setiap tetes airnya yang jatuh ke tubuhku.'' Tanganku terulur
melewati bingkai jendela untuk meraskan setiap tetes airnya. Dingin. Air hujan
yang turun setiap malam masih terasa dingin seperti beberapa bulan yang lalu
ketika Fano belum hadir dalam hariku.
Fano memelukku dari belakang dan meletakkan
dagunya di bahuku. Hembusan napasnya yang terdengar berat terasa hangat menyapu
kulit leherku.
''Air hujan nggak baik bagi kesehatan, terlebih
untuk dirimu,'' bisiknya lembut. Aku menelengkan kepala mencoba melihat
wajahnya dan ternyata ia juga sedang menatapku lalu buru-buru aku kembali
beralih menatap langit malam. Debar jantungku selalu bergemuruh setiap melihat
mata teduhnya dan mungkin saja saat ini ia bisa merasakan irama jantungku yang
berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.
''Kenapa?'' Ada nada bingung yang kutangkap
dari pertanyaan Fano. Ia melepas pelukannya lalu memutar tubuhku untuk
menghadap dirinya. ''Kenapa kamu berpaling dariku?'' tanyanya lagi. Ingin
rasanya aku mengalihkan pandanganku dari wajahnya tapi kedua tangan kekarnya
telah memegang pipiku dan memaksaku untuk terus menatapnya.
''Aku ....'' Aku menggigit bibir bawahku
mencoba menerka-nerka respon apa yang ia tunjukkan begitu mendengar kalimat
yang akan aku ucapkan. Fano masih menatapku dengan kening berkerut menunggu
kelanjutan dari ucapanku. ''Aku takut ... takut ... tidak bisa bertahan ... dan
... menghadapi ... semuanya,'' lirihku terbata-bata dengan kepala tertunduk
serta mata terpejam. Sungguh aku benar-benar tak bisa menatap wajahnya, aku
takut melihat sorot kemarahan dari kedua manik legamnya. Selama ini ia telah
berjuang dengan keras untuk diriku dan aku yakin ucapanku pasti akan sangat
menyakiti hatinya.
Kurasakan kedua tangan kekarnya mulai terlepas
dari pipiku. Ya Tuhan ... apa ia benar-benar marah padaku? Untuk sesaat
otot-otot di tubuhku melemas, duniaku seolah berhenti berputar dan aku
benar-benar tak tahu harus barbuat apa. Rasa takut itu kini menjelma menjadi
nyata, aku takut Fano akan pergi dan aku tak akan pernah bisa melihat atau
bertemu dengan dirinya lagi untuk selama-lamanya. Tubuhku terasa lemas membayangkan
hal itu terjadi. Sebelum akhirnya sebuah gerakan lembut menyeret tubuhku dalam
dekapan hangatnya. Kedua lengan kekarnya memelukku dengan erat dan hal itu
sanggup menimbulkan rasa hangat yang menjalar di seluruh tubuhku bahkan juga di
hatiku, aku juga bisa mendengar irama jantungnya yg berdetak teratur. Tanpa
kusadari aku terisak pelan.
''Jangan menangis, bukankah aku telah bersumpah
akan selalu menjagamu seumur hidupku. Kamu juga telah berjanji padaku akan
melawan penyakit tumor yang kamu derita.'' Ucapan Fano mengingatkanku pada
janji setia yang kami ikrarkan dua hari yang lalu di depan penghulu.
Fano merenggangkan pelukannya, kedua tangannya
kembali memegang wajahku dengan ibu jari mengusap genangan air di sudut mataku.
Tatapan teduhnya masih sama seperti yang dulu ketika menatapku, dipenuhi rasa
sayang dan cinta lalu perlahan ia mengecup puncak kepalaku.
Terimakasih Tuhan, Engkau telah mengirimkan
seorang malaikat penjaga untuk mengisi setiap sisi di relung hatiku serta
menemaniku dalam sisa umurku.
*10 Desember 2012
+Azkiyah, ini kalo mau ngedit blog, beberapa yang harus situ lakukan:
BalasHapus1. Postingan kamu tidak berlabel, maksudnya, label itu gunannya untuk mengelempokan jenis postingan di blog. Lalu kita buat gadget (kayak yang ada di pinggir blog kamu: "Arsip") itu. Nah, kita bakal gadget untuk kategori label nantinya.
2. Jumlah postingan yang kamu ingin tampilin di blog ini sudahkamu tentukan jumlahnya, tetapi terlalu panjang karena saat memposting tulisan, kamu tidak memotongnya (Saat nulis, ada tanda pojokan yang bergambar seperti icon kertas disobek) itu adalah icon untuk memotong tampilan di halaman muka, dan nantinya akan muncul tanda link bertitle "READ MORE" atau sejenis.
3. Jenis template kamu adalah default dari blognya, sehingga kalo mau merenovasi tampilan blog coba tekan= CTRL+SHIFT+(huruf i). di situ ada keterangan ID dan Class, yang akan kamu tentukan nilai CSSnya.
Edaaa.... Lama nggak buka blog aku baru sempet baca komentar kamu sekarang dan aku udah bener-bener lupa bagaimana cara memperbaiki dan membuat tampilan blog biar lebih cantik.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus