Cari Blog Ini

Sabtu, 20 Juli 2013

Love at Second Sight



Teeeeett .... Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Seluruh penghuni kelas XII B tampak sibuk membereskan buku-buku dan peralatan tulis tidak terkecuali diriku. Moment pulang sekolah merupakan hal yang paling aku tunggu karena itu berarti aku akan bertemu dengan seseorang yang telah berhasil menarik perhatianku, seorang pemuda yang memakai seragam putih abu-abu seperti seragam yang aku kenakan.
“Din, gue cabut dulu ya,” pamitku pada Dian, teman satu bangku.
“Lu piket jaga ruko lagi?”
Aku hanya mengangguk sambil melambaikan tangan dan segera keluar dari kelas. Sebenarnya aku bukan tipe anak yang suka berbohong. Selama beberapa minggu ini aku selalu menolak ajakan Dian dengan alasan tersebut, mungkin Dian mulai merasa aneh atau bahkan curiga karena aku lebih memilih berdesak-desakan naik bus dari pada naik mobilnya yang ber-AC. Aku sengaja merahasiakan tentang pemuda yang aku temui di halte bus padanya, aku tidak mau Dian sampai meledekku karena tertarik pada seseorang yang belum aku kenal.
Seorang pemuda bertubuh jangkung dengan warna kulit sedikit gelap, bingkai kaca mata tipis bertengger di hidung mancungnya. Ketika ia berbicara lesung pipit muncul dikedua pipinya dan anehnya kenapa aku bisa tertarik dengannya? Kenapa hati ini selalu berdesir setiap kami saling beradu pandang?
Akhirnya aku tiba di halte setelah hampir sepuluh menit berlari dari sekolah, sudah banyak orang yang berdiri di sana. Aku mengedarkan pandangan diantara keramaian orang dan senyumku langsung mengembang saat melihat seseorang yang tengah bersandar disalah satu pilar dengan earphone terpasang di telinga, kepalanya tampak mengangguk-angguk menikmati irama lagu. Tiba-tiba sosok itu menoleh dan mata kami saling bertatapan, satu detik ... dua detik ... tiga detik ... empat detik ... dan akhirnya suasana berubah menjadi ricuh bersamaan dengan sebuah bus yang baru saja berhenti. 
Beberapa menit kemudian bus tersebut kembali berjalan dan aku masih berdiri menunggu bus yang akan aku tumpangi, tanpa sadar pandanganku kembali melihat sosok pemakai earphone yang kini telah duduk di bangku.  
“Bangku ini masih cukup panjang untuk gadis mungil sepertimu,” ucapnya sambil menatapku. Aku menyipitkan mata. “Ayolah Sandra kenapa kamu masih di sana, apa kamu nggak capek berdiri terus?” Mendengar namaku disebut olehnya membuat bola mataku melotot maksimal. “Jangan kaget seperti itu, apa kamu masih belum ingat denganku? Padahal hampir setiap hari kamu selalu memperhatikanku.” Ia tersenyum sambil mengerlingkan mata.
Aku bergidik ngeri, ingin rasanya segera pergi menjauh darinya tapi entah kenapa kakiku seakan terkunci oleh tatapan matanya dan semakin lama wajahnya terasa begitu familiar. Apa aku memang kenal dia? Ah, mungkin itu cuma siasat yang dilakukan olehnya.      
“Lu siapa?!” bentakku galak. Bukannya menjawab ia malah berdiri dan mendekat, rasa takut semakin menyelimutiku.
“Ckck ... ternyata kamu tidak berubah, tetap jutek dan galak.” Ia berdecak sambil menggelengkan kepala.
Dari ujung mata aku melihat bus yang aku tunggu mulai mendekat dan berhenti di depan kami, pintu bagian depan terbuka secara otomatis. Pemuda itu bukannya berbalik tapi malah semakin mencondongkan tubuhnya ke arahku.
“Mata kucing wajah tembem, sekarang kamu telah berubah menjadi angsa yang cantik.” Ucapnya sebelum berbalik dan melangkahkan kakinya lebar-lebar.
Jantungku seakan berhenti berdetak, sekelebat bayangan dari masa lalu tiba-tiba muncul dalam benakku. Ya Tuhan, apa mungkin dia ....  
“Sandra, apa kamu akan tetap berdiri di sana?” Sosok itu telah berdiri diambang pintu sambil mengulurkan tangan, meski sedikit ragu aku mulai melangkah dan meraih uluran tangannya.
“Rhafa?” seruku ketika kami berdiri berdampingan. Ia melirik sekilas lalu tersenyum dan mengangguk. “Jahat. Kenapa kamu tidak menyapaku dari kemaren-kemaren?” Dengan kesal aku memukul lengannya tanpa peduli tatapan aneh para penumpang yang lain. Saat ini aku terlalu bahagia begitu tahu pemuda yang selalu aku perhatikan secara diam-diam selama beberapa minggu ini adalah Rhafa, teman semasa SMP yang dulu sempat menempati sebagian ruang di hatiku. Aku tidak tahu ini sebuah kebetulan atau yang dinamakan takdir karena untuk yang kedua kalinya aku jatuh cinta pada orang yang sama.
“Maafkan aku, aku berharap kamu yang akan menyapaku terlebih dahulu tapi --”
“Itu karena kamu telah banyak berubah jadi aku tak mengenalimu,” potongku cepat.
Rhafa tersenyum lalu mengacak-ngacak rambutku sebelum akhirnya menarikku dalam pelukannya.

The end.


*Flash Fiction in antologi Secret Admirer, Maret 2013
  Penerbit Harfeey, Sleman-Yogykarta









Tidak ada komentar:

Posting Komentar