Teeeeett .... Bel
pulang sekolah berbunyi nyaring. Seluruh penghuni kelas XII B tampak sibuk
membereskan buku-buku dan peralatan tulis tidak terkecuali diriku. Moment
pulang sekolah merupakan hal yang paling aku tunggu karena itu berarti aku akan
bertemu dengan seseorang yang telah berhasil menarik perhatianku, seorang pemuda
yang memakai seragam putih abu-abu seperti seragam yang aku kenakan.
“Din, gue cabut dulu
ya,” pamitku pada Dian, teman satu bangku.
“Lu piket jaga ruko
lagi?”
Aku hanya mengangguk
sambil melambaikan tangan dan segera keluar dari kelas. Sebenarnya aku bukan
tipe anak yang suka berbohong. Selama beberapa minggu ini aku selalu menolak
ajakan Dian dengan alasan tersebut, mungkin Dian mulai merasa aneh atau bahkan
curiga karena aku lebih memilih berdesak-desakan naik bus dari pada naik
mobilnya yang ber-AC. Aku sengaja merahasiakan tentang pemuda yang aku temui di
halte bus padanya, aku tidak mau Dian sampai meledekku karena tertarik pada seseorang
yang belum aku kenal.
Seorang pemuda bertubuh
jangkung dengan warna kulit sedikit gelap, bingkai kaca mata tipis bertengger
di hidung mancungnya. Ketika ia berbicara lesung pipit muncul dikedua pipinya dan
anehnya kenapa aku bisa tertarik dengannya? Kenapa hati ini selalu berdesir
setiap kami saling beradu pandang?
Akhirnya aku tiba di halte
setelah hampir sepuluh menit berlari dari sekolah, sudah banyak orang yang
berdiri di sana. Aku mengedarkan pandangan diantara keramaian orang dan senyumku
langsung mengembang saat melihat seseorang yang tengah bersandar disalah satu
pilar dengan earphone terpasang di telinga, kepalanya tampak mengangguk-angguk
menikmati irama lagu. Tiba-tiba sosok itu menoleh dan mata kami saling
bertatapan, satu detik ... dua detik ... tiga detik ... empat detik ... dan akhirnya
suasana berubah menjadi ricuh bersamaan dengan sebuah bus yang baru saja
berhenti.
Beberapa menit kemudian
bus tersebut kembali berjalan dan aku masih berdiri menunggu bus yang akan aku
tumpangi, tanpa sadar pandanganku kembali melihat sosok pemakai earphone yang kini
telah duduk di bangku.
“Bangku ini masih cukup
panjang untuk gadis mungil sepertimu,” ucapnya sambil menatapku. Aku
menyipitkan mata. “Ayolah Sandra kenapa kamu masih di sana, apa kamu nggak
capek berdiri terus?” Mendengar namaku disebut olehnya membuat bola mataku
melotot maksimal. “Jangan kaget seperti itu, apa kamu masih belum ingat denganku?
Padahal hampir setiap hari kamu selalu memperhatikanku.” Ia tersenyum sambil
mengerlingkan mata.
Aku bergidik ngeri, ingin
rasanya segera pergi menjauh darinya tapi entah kenapa kakiku seakan terkunci
oleh tatapan matanya dan semakin lama wajahnya terasa begitu familiar. Apa aku
memang kenal dia? Ah, mungkin itu cuma siasat yang dilakukan olehnya.
“Lu siapa?!” bentakku
galak. Bukannya menjawab ia malah berdiri dan mendekat, rasa takut semakin
menyelimutiku.
“Ckck ... ternyata kamu
tidak berubah, tetap jutek dan galak.” Ia berdecak sambil menggelengkan kepala.
Dari ujung mata aku
melihat bus yang aku tunggu mulai mendekat dan berhenti di depan kami, pintu bagian
depan terbuka secara otomatis. Pemuda itu bukannya berbalik tapi malah semakin
mencondongkan tubuhnya ke arahku.
“Mata kucing wajah
tembem, sekarang kamu telah berubah menjadi angsa yang cantik.” Ucapnya sebelum
berbalik dan melangkahkan kakinya lebar-lebar.
Jantungku seakan
berhenti berdetak, sekelebat bayangan dari masa lalu tiba-tiba muncul dalam
benakku. Ya Tuhan, apa mungkin dia ....
“Sandra, apa kamu akan
tetap berdiri di sana?” Sosok itu telah berdiri diambang pintu sambil
mengulurkan tangan, meski sedikit ragu aku mulai melangkah dan meraih uluran
tangannya.
“Rhafa?” seruku ketika
kami berdiri berdampingan. Ia melirik sekilas lalu tersenyum dan mengangguk. “Jahat.
Kenapa kamu tidak menyapaku dari kemaren-kemaren?” Dengan kesal aku memukul lengannya
tanpa peduli tatapan aneh para penumpang yang lain. Saat ini aku terlalu
bahagia begitu tahu pemuda yang selalu aku perhatikan secara diam-diam selama
beberapa minggu ini adalah Rhafa, teman semasa SMP yang dulu sempat menempati
sebagian ruang di hatiku. Aku tidak tahu ini sebuah kebetulan atau yang
dinamakan takdir karena untuk yang kedua kalinya aku jatuh cinta pada orang
yang sama.
“Maafkan aku, aku
berharap kamu yang akan menyapaku terlebih dahulu tapi --”
“Itu karena kamu telah
banyak berubah jadi aku tak mengenalimu,” potongku cepat.
Rhafa tersenyum lalu
mengacak-ngacak rambutku sebelum akhirnya menarikku dalam pelukannya.
The end.
*Flash Fiction in antologi Secret Admirer, Maret 2013
Penerbit Harfeey, Sleman-Yogykarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar