You've (you never can tell)
Berulang kali Steva menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kesal, tangan kirinya mencengkeram syal yg menggantung di dada untuk menekan rasa sakit yg mulai menggerogoti relung hatinya. Dipejamkannya kedua mata agar cairan bening yg sedari tadi dia tahan tak jatuh membasahi pipi putihnya.
Sakit. Semakin Steva ingin melupakan semuanya rasa sakit itu semakin menyiksa dan membuatnya sulit menghirup udara untuk mengisi paru-parunya.
''Aaarrgh! Rido brengksek! Kenapa aku harus merindukanmu? Padahal jelas-jelas kau tak peduli padaku?!'' teriak Steva ketika tak bisa lagi menutupi amarah yg berkecamuk di hatinya.
Aliran kecil mulai keluar dari matanya yang masih terpejam. Dia menggigit bibir bawahnya mencoba meredam suara, sementara kedua bahunya mulai bergerak turun naik menahan isak tangis. Perlahan dia membuka mata menatap semburat jingga di ujung langit barat, semilir angin menggerakkan rambut lurusnya yang dia biarkan tergerai. Rok panjang putihnya juga ikut bergerak-gerak tertiup angin.
''Rido jahaaat! Kenapa kamu harus hadir bila akhirnya membuatku gila seperti ini? Aku bener-bener benci sama kamu. Benci dengan caramu memperlakukan aku hingga membuatku jatuh cinta padamu? Dan kenapa sekarang kamu pergi? Kenapa kamu pergi setelah berhasil mencuri hatiku? Kamu benar-benar cowok yang nggak bertanggung jawab! Aku benciii ... benciii ... banget sama sama kamu!'' Steva kembali berteriak. Dia sama sekali tak peduli dengan beberapa pengunjung yang berada disekitarnya dan menatapnya ngeri, saat ini yang ingin dia lakukan hanya melupakan semua beban batinnya. Dia sudah capek memendam semuanya seorang diri, dia butuh cara untuk meluapkan segala perasaan yang berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Dan di sini lah dia sekarang, di tepi pantai berteriak-teriak seperti orang gila. Perlahan tubuh Steva luruh hingga akhirnya kedua lututnya bertumpu pada pasir putih, kepala gadis itu tertunduk, kedua tangannya mencengkeram rok sampai buku-buku jarinya memutih.
Steva Angelica, gadis bermata sipit yang kesehariannya selalu ceria dan bahagia kali ini terlihat begitu rapuh. Airmata masih mengalir di pipinya dan Steva sama sekali tak berniat untuk menghapusnya, dia ingin semua beban dan luka hatinya juga ikut hilang bersamaan dengan keluarnya airmata tersebut.
Ringtone Sakura milik Rosa terdengar, dengan malas Steva merogoh tas rajut kecil yang dia bawa. Tertera nama Brian. Cukup lama suara Rosa yang merdu terdengar hingga akhirnya berhenti dan beberapa detik kemudian suara merdu itu kembali terdengar.
''Steva lu dimana? Semua orang bingung nyariin lu, kenapa lu tiba-tiba menghilang dari rumah?'' Suara bariton Brian terdengar panik begitu Steva menjawab panggilannya.
Seulas senyum tercetak di bibir Steva, ternyata masih ada orang yang ingat dan mengkhawatirkannya. ''Gue, tut ... tut ... tut ....'' Sambungan telpon terputus. Steva berdecak kesal karena ponselnya lowbatt, sejak kemaren dia disibukkan dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di otaknya sampai tak menyadari kalau posel kesayangannya juga butuh dicharger.
Steva menatap sekitar, langit sudah mulai gelap dan beberapa pengunjung juga telah pulang hanya ada beberapa orang yang masih berada di sana. Tampaknya mereka akan tetap berada di sini cukup lama.
''Steva?!'' Terdengar sebuah suara berat memanggil namanya. Steva menoleh dan mendapati Rido telah berdiri di belakangnya.
Setelah berhasil menyingkirkan keterkejutannya karena kehadiran Riso, Steva bangkit dan mulai melangkah meninggalkan Rido. Saat ini dia benar-benar tak ingin melihat wajah Rido namun baru dua langkah tangan besar mencengkeram lengannya.
''Lepasin! Gue mau pergi!'' Steva berusaha melepaskan cekalan tangan Rido namun pegangan tangan pemuda itu di lengan Steva begitu kuat bahkan Steva sampai meringis kesakitan.
Rido bukannya tak tahu kalau Steva tengah kesakitan karena cengkeraman tangannya yang sangat kuat tapi kalau dia melepaskannya dia takut gadis itu akan pergi dan membuatnya frustasi lagi untuk mencarinya.
''Lu bener-bener egois. Setelah apa yang tidak seharusnya gue lakukan, lu malah ngehukum diri lu sendiri seperti ini. Kalau lu nggak mau berkorban kenapa lu harus bertahan? Itu hanya akan menyakiti diri lu sendiri ... atau mungkin lu emang suka seperti ini?'' Rido masih mencengkeram lengan Steva dan Steva masih dalam posisi membelakangi dirinya. Mendengar ucapan Rido membuat luka di hati Steva semakin terasa sakit.
Dengan tangan kiri yang masih bebas Steva menghapus airmata yang belum sempat terjatuh. Sudah cukup dia menangis untuk Rido, laki-laki yang bahkan menurutnya tak pantas untuk ditangisi.
''Ngapain lu di sini? Bukannya lu sendiri yang bilang nggak akan pernah muncul lagi di depan gue? Dan sekarang kenapa lu sok perhatian sama gue? Gue sama sekali nggak butuh!'' Steva menyentakkan tangan Rido dan berhasil. Rido sama sekali tak mengira Steva yang dikenalnya sebagai sosok gadis yang lembut bisa bersikap kasar seperti itu. Steva tertawa hambar dengan kedua tangan dilipat di dada, dia berjalan mengitari Rido yang masih menatapnya bingung sambil berdecak dan menggelengkan kepala.
''Rido ... Rido ... jangan lu pikir gue akan terpuruk,'' Steva berhenti sebentar di belakang Rido menarik nafas panjang dan berusaha mengontrol emosinya, dia tak mau Rido melihatnya sebagai gadis yang rapuh meski sebenarnya saat ini dia begitu rapuh dan terluka. Steva kembali melangkah dan kali ini berdiri tepat di depan Rido. Dia mendongak untuk menatap manik mata Rido.
''Lu hanya bagian dari masa lalu gue dan gue minta lu jauh-jauh dari gue karena gue ... muak lihat tampang innocent lu, bagi gue lu hanya kenangan yang harus dikubur, kalau perlu juga harus ... dilupakan. So, jangan pernah lagi muncul di depan mata gue. GUE BENCI SAMA LU!'' Setelah mengucapkan kalimat itu Steva berbalik dan melangkah lebar-lebar, lagi-lagi airmatanya terjatuh bahkan kali ini lebih deras dari yang tadi ketika dia memaki-maki Rido di depan deburan ombak.
''Gue ... pasti bisa dan gue harus bisa melupakannya,'' tekadnya dalam hati.
Rido menatap pungung Steva yang perlahan mulai menjauh dari pandangannya yang semakin mengabur, dia memang pantas mendapatkan perlakuan dari Steva setelah apa yang dia lakukan pada gadis yang begitu tulus mencintai dan menerima dirinya apa adanya. Mungkin kah ini hukum karma baginya? Karena selama ini tak pernah bisa menjaga hati orang-orang yang tulus mencintai dan menyayanginya?
Sakit. Semakin Steva ingin melupakan semuanya rasa sakit itu semakin menyiksa dan membuatnya sulit menghirup udara untuk mengisi paru-parunya.
''Aaarrgh! Rido brengksek! Kenapa aku harus merindukanmu? Padahal jelas-jelas kau tak peduli padaku?!'' teriak Steva ketika tak bisa lagi menutupi amarah yg berkecamuk di hatinya.
Aliran kecil mulai keluar dari matanya yang masih terpejam. Dia menggigit bibir bawahnya mencoba meredam suara, sementara kedua bahunya mulai bergerak turun naik menahan isak tangis. Perlahan dia membuka mata menatap semburat jingga di ujung langit barat, semilir angin menggerakkan rambut lurusnya yang dia biarkan tergerai. Rok panjang putihnya juga ikut bergerak-gerak tertiup angin.
''Rido jahaaat! Kenapa kamu harus hadir bila akhirnya membuatku gila seperti ini? Aku bener-bener benci sama kamu. Benci dengan caramu memperlakukan aku hingga membuatku jatuh cinta padamu? Dan kenapa sekarang kamu pergi? Kenapa kamu pergi setelah berhasil mencuri hatiku? Kamu benar-benar cowok yang nggak bertanggung jawab! Aku benciii ... benciii ... banget sama sama kamu!'' Steva kembali berteriak. Dia sama sekali tak peduli dengan beberapa pengunjung yang berada disekitarnya dan menatapnya ngeri, saat ini yang ingin dia lakukan hanya melupakan semua beban batinnya. Dia sudah capek memendam semuanya seorang diri, dia butuh cara untuk meluapkan segala perasaan yang berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Dan di sini lah dia sekarang, di tepi pantai berteriak-teriak seperti orang gila. Perlahan tubuh Steva luruh hingga akhirnya kedua lututnya bertumpu pada pasir putih, kepala gadis itu tertunduk, kedua tangannya mencengkeram rok sampai buku-buku jarinya memutih.
Steva Angelica, gadis bermata sipit yang kesehariannya selalu ceria dan bahagia kali ini terlihat begitu rapuh. Airmata masih mengalir di pipinya dan Steva sama sekali tak berniat untuk menghapusnya, dia ingin semua beban dan luka hatinya juga ikut hilang bersamaan dengan keluarnya airmata tersebut.
Ringtone Sakura milik Rosa terdengar, dengan malas Steva merogoh tas rajut kecil yang dia bawa. Tertera nama Brian. Cukup lama suara Rosa yang merdu terdengar hingga akhirnya berhenti dan beberapa detik kemudian suara merdu itu kembali terdengar.
''Steva lu dimana? Semua orang bingung nyariin lu, kenapa lu tiba-tiba menghilang dari rumah?'' Suara bariton Brian terdengar panik begitu Steva menjawab panggilannya.
Seulas senyum tercetak di bibir Steva, ternyata masih ada orang yang ingat dan mengkhawatirkannya. ''Gue, tut ... tut ... tut ....'' Sambungan telpon terputus. Steva berdecak kesal karena ponselnya lowbatt, sejak kemaren dia disibukkan dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di otaknya sampai tak menyadari kalau posel kesayangannya juga butuh dicharger.
Steva menatap sekitar, langit sudah mulai gelap dan beberapa pengunjung juga telah pulang hanya ada beberapa orang yang masih berada di sana. Tampaknya mereka akan tetap berada di sini cukup lama.
''Steva?!'' Terdengar sebuah suara berat memanggil namanya. Steva menoleh dan mendapati Rido telah berdiri di belakangnya.
Setelah berhasil menyingkirkan keterkejutannya karena kehadiran Riso, Steva bangkit dan mulai melangkah meninggalkan Rido. Saat ini dia benar-benar tak ingin melihat wajah Rido namun baru dua langkah tangan besar mencengkeram lengannya.
''Lepasin! Gue mau pergi!'' Steva berusaha melepaskan cekalan tangan Rido namun pegangan tangan pemuda itu di lengan Steva begitu kuat bahkan Steva sampai meringis kesakitan.
Rido bukannya tak tahu kalau Steva tengah kesakitan karena cengkeraman tangannya yang sangat kuat tapi kalau dia melepaskannya dia takut gadis itu akan pergi dan membuatnya frustasi lagi untuk mencarinya.
''Lu bener-bener egois. Setelah apa yang tidak seharusnya gue lakukan, lu malah ngehukum diri lu sendiri seperti ini. Kalau lu nggak mau berkorban kenapa lu harus bertahan? Itu hanya akan menyakiti diri lu sendiri ... atau mungkin lu emang suka seperti ini?'' Rido masih mencengkeram lengan Steva dan Steva masih dalam posisi membelakangi dirinya. Mendengar ucapan Rido membuat luka di hati Steva semakin terasa sakit.
Dengan tangan kiri yang masih bebas Steva menghapus airmata yang belum sempat terjatuh. Sudah cukup dia menangis untuk Rido, laki-laki yang bahkan menurutnya tak pantas untuk ditangisi.
''Ngapain lu di sini? Bukannya lu sendiri yang bilang nggak akan pernah muncul lagi di depan gue? Dan sekarang kenapa lu sok perhatian sama gue? Gue sama sekali nggak butuh!'' Steva menyentakkan tangan Rido dan berhasil. Rido sama sekali tak mengira Steva yang dikenalnya sebagai sosok gadis yang lembut bisa bersikap kasar seperti itu. Steva tertawa hambar dengan kedua tangan dilipat di dada, dia berjalan mengitari Rido yang masih menatapnya bingung sambil berdecak dan menggelengkan kepala.
''Rido ... Rido ... jangan lu pikir gue akan terpuruk,'' Steva berhenti sebentar di belakang Rido menarik nafas panjang dan berusaha mengontrol emosinya, dia tak mau Rido melihatnya sebagai gadis yang rapuh meski sebenarnya saat ini dia begitu rapuh dan terluka. Steva kembali melangkah dan kali ini berdiri tepat di depan Rido. Dia mendongak untuk menatap manik mata Rido.
''Lu hanya bagian dari masa lalu gue dan gue minta lu jauh-jauh dari gue karena gue ... muak lihat tampang innocent lu, bagi gue lu hanya kenangan yang harus dikubur, kalau perlu juga harus ... dilupakan. So, jangan pernah lagi muncul di depan mata gue. GUE BENCI SAMA LU!'' Setelah mengucapkan kalimat itu Steva berbalik dan melangkah lebar-lebar, lagi-lagi airmatanya terjatuh bahkan kali ini lebih deras dari yang tadi ketika dia memaki-maki Rido di depan deburan ombak.
''Gue ... pasti bisa dan gue harus bisa melupakannya,'' tekadnya dalam hati.
Rido menatap pungung Steva yang perlahan mulai menjauh dari pandangannya yang semakin mengabur, dia memang pantas mendapatkan perlakuan dari Steva setelah apa yang dia lakukan pada gadis yang begitu tulus mencintai dan menerima dirinya apa adanya. Mungkin kah ini hukum karma baginya? Karena selama ini tak pernah bisa menjaga hati orang-orang yang tulus mencintai dan menyayanginya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar