Cari Blog Ini

Selasa, 19 Juni 2012

Cerpen Me.. (2)

 SURPRISED

Sesekali aku melirik dan mendengus kesal melihat Hana sahabatku ikut kecentilan dengan anak baru yang bernama Vano dan yang paling menyebalkan sepertinya Vano juga menikmati semua itu.
“HANAAA!!” teriakku kesal karena benar-benar tidak tahan melihat tingkahnya.
Hana cuek, dia tidak menggubris panggilanku padahal jelas-jelas aku berdiri tepat di belakangnya. “Ayo pulang!” dengan kasar aku menarik lengannya, hampir saja Hana terjungkal ke lantai tapi karena matanya masih asyik memandang wajah Vano yang katanya super cute and handsome sehingga membuatnya seakan tidak merasakan hal itu.
“Kenapa kita harus pulang sekarang?” gerutunya ketika kami berdiri di halte.
“Mau sampai kapan elo lihat wajahnya? Sekarang sudah jam dua dan kita harus ke toko buku mencari referensi untuk tugas bahasa indonesia besok!”
“Hmm ... ternyata selain cakep Vano juga baik dan pintar, benar-benar cowok yang sempurna.” Hana kembali menghayal membayangkan Vano.
Pluk! Aku memukul kepalanya dengan gulungan kertas kuarto tapi Hana masih saja diam mematung sambil senyum-senyum sendiri.
“HANA!” aku kembali berteriak.
“Apa-apaan sih? Gue sedang membayangkan Aa Vano yang cakep, jangan ganggu napa!”
“Neng, mau naik atau tetap di sini?” tanya kondektur bus sambil mengusap peluh dengan handuk.
“Heh?!” Hana kaget, dia cengengesan dan langsung melangkah masuk.
“Kenapa elo nggak ngasih tahu kalau busnya sudah datang?” gerutunya ketika berdiri di sampingku.
“Terus saja mikirin tuh cowok yang sok cakep dan kegantengan itu!” sungutku jengkel.
“Tapi dia emang cakep dan ganteng kok!” lagi-lagi Hana senyum-senyum sendiri.
@ @ @
“Bubaaar!” teriakku sambil menggebrak meja.
Semua murid yang mengerubungi meja Vano langsung menoleh.
“Kenapa elo di sini? Bukannya elo anak kelas X?” tanyaku judes pada adik kelas yang tidak kukenal siapa namanya.
Mereka masih memandangku sambil diam membisu.
“Apa kalian nggak denger apa yang barusan gue bilang? Ayo bubar!” bentakku lagi.
Perlahan mereka semua beringsut keluar dan berbisik-bisik tidak jelas.
Palingan juga ngomongin gue.
Kulihat Vano melipat kedua tangannya di dada sambil menatapku. “Ternyata lu bisa galak juga.”
“Nggak usah kegeeran, gue sumpek aja lihat kelas yang tiba-tiba heboh dan berubah jadi tempat ajang jumpa fans seperti ini,” ucapku ketus sambil berjalan melewati mejanya.
“Thank’s ya,” ucapnya lagi.
Aku tidak menggubris ucapannya dan segera duduk di bangkuku. Kelas masih sepi hanya ada aku dan Vano, diam-diam aku tersenyum sendiri membayangkan apa yang barusan aku lakukan.
“Tumben sepi?” suara Hana membuyarkan lamunanku.
“Ngagetin aja elo!” ketika aku menoleh Hana sudah tidak ada, tinggal tasnya di atas meja dan kulihat dia sudah duduk di samping Vano.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatku itu dan Vano melirik kearahku sambil mengangkat bahu.
@ @ @
“Elo jadi cewek jangan terlalu judes, kasihan adik kelas yang elo bentak-bentak tadi pagi,” ucap Hana sambil memasukkan bakso ke mulutnya. Seperti biasa ketika istirahat aku dan hanya suka menghabiskan waktu di kantin mengisi perut.
“Siapa suruh jadi cewek kecentilan dan keganjenan kayak gitu.”
“Jangan salah, lebih baik jadi cewek centil dari pada judes kayak elo, ntar jauh jodoh lho ...,” ledeknya.
“Elo juga, kenapa masih deket-deket sama Vano?”
“Hahahaha ....” Hana tertawa. “Emangnya sejak kapan ada larangan nggak boleh deket-deket sama Vano? Dia kan masih single jadi siapa pun boleh deket dengan dirinya, termasuk gue,” ucapnya.
“Baiklah, terserah elo aja.” aku menarik nafas panjang dan kembali menyuapkan batagor ke mulut.
@ @ @
“Tumben elo pakai cincin?” seru Hana begitu melihat cincin melingkar di jari manisku.
Aku tersenyum. “Pantes nggak?” tanyaku sambil melihat cincin itu.
Cincin perak polos ini memang kecil seperti ukuran cincin lainnya tapi entah kenapa rasanya terlalu berat untuk memakainya.
“Bagus kok!” Hana manarik tangan kiriku dan mengamati cincin itu.
“Sebagai cewek selera elo dalam memilih barang payah banget deh! Kenapa elo beli cincin seperti ini? Cincin ini lebih mirip cincin pertunangan, nggak pantes untuk remaja seusia kita.”
“Bukan gue yang milih, gue cuma tinggal pakai saja.”
“Ooo gitu ya ....” Hana manggut-manggut, dia kemudian celingak-celinguk seperti mencari sesuatu. “Jam segini kenapa Vano masih belum datang juga ya?” tanyanya.
“Mungkin sebentar lagi,” jawabku sambil tersenyum. Aku tidak sabar ingin melihat bagaimana reaksi teman satu kelas dan terutama Hana begitu melihat dan mendengar semuanya.
Kulihat Vano sedang berjalan di koridor, langkahnya begitu santai dengan wajah tanpa ekspresi. Kembali aku menarik nafas panjang dan melihat cincin yang melingkar di jariku.
“Vanooo!” Hana berteriak sambil melambaikan tangan.
Tampak Vano melangkah masuk dan berjalan ke bangkunya, tapi ... kenapa dia tidak langsung duduk dan malah terus saja melangkah ke arahku?
“Dompet lu ketinggalan.” Vano meyodorkan dompetku.
Hah? Aku kaget. Kenapa dompetku bisa ketinggalan? Sepertinya tadi sudah aku masukkan dalam tas?
“Kenapa dompet elo bisa ada sama Vano?” Hana menatapku dan Vano secara bergantian, terlihat dengan jelas ada kebingungan di wajahnya.
“Apa itu?” Hana kembali bertanya sambil menunjuk tangan Vano.
“Ini?” Vano menunjukkan tangan kirinya yang mengenakan sebuah cincin.
Hana menarik tangan Vano dan mengamati cincin itu. “Sepertinya aku pernah melihat cincin seperti ini,” ucapnya.
Beberapa detik kemudian dia menoleh ke arahku dan dengan kasar menarik tangan kiriku dan berulang kali melihat cincinku dan cincin Vano secara bergantian. Setelah merasa yakin Hana menatapku dengan curiga.
"Kenapa cincin kalian mirip banget? Kalian berdua tunangan?!” teriaknya histeris.
“Ssstt ....” aku berbisik dan menempelkan jari telunjuk ke bibir Hana meminta agar dirinya memelankan suara. Tapi terlambat, karena ketika aku menoleh hampir seisi kelas sedang melihat ke arah kami.
Aku dan Vano saling berpandangan, perlahan bibir Vano menyunggingkan senyum dan meraih tubuhku untuk mendekat ke tubuhnya. Senyumnya semakin lebar dan aku pun ikut tersenyum melihat wajah bengong dan penasaran teman-teman sekelas, perlahan tangan kanan Vano menggenggam jemari kiriku.
“Kami memang telah bertunangan!” ucap Vano tegas.
Langsung saja aku menatap wajah tunanganku yang kata teman-teman cute banget, senyum di bibirku semakin merekah mendengar pernyataan itu.
“TIDAAAKK!!”
Ssebuah teriakan terdengar begitu nyaring. Tanpa menoleh aku sudah tahu dan begitu mengenal dengan sangat baik suara itu, karena yang berteriak tidak lain adalah Hana sahabatku sendiri.

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar